Perusakan Fasilitas BMKG di Nabire: Ancaman Nyata bagi Keselamatan Publik di Wilayah Rawan Gempa dan Tsunami
Perusakan Fasilitas BMKG di Nabire: Ancaman Nyata bagi Keselamatan Publik di Wilayah Rawan Gempa dan Tsunami
Kabupaten Nabire, Papua Tengah, kembali menjadi sorotan setelah serangkaian aksi perusakan terhadap peralatan pemantauan gempa dan sistem peringatan dini tsunami milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Kejadian ini bukan sekadar tindak kejahatan biasa, melainkan ancaman serius bagi keselamatan ribuan jiwa di wilayah yang dikenal memiliki tingkat kerawanan gempa dan tsunami yang tinggi. Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, dalam keterangan resminya pada Jumat (7/3), mengkonfirmasi tiga insiden perusakan yang terjadi pada periode Februari hingga Maret 2025. Aksi vandalisme ini meliputi pemotongan antena modem, kabel antena GPS, dan yang terakhir, pemotongan kabel panel surya, yang mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk melumpuhkan sistem peringatan dini.
Akibat perusakan tersebut, BMKG terpaksa mengambil langkah tegas dengan mencabut seluruh peralatan pemantauan gempa di Nabire. Keputusan ini diambil untuk mencegah kerugian yang lebih besar, terutama setelah terungkapnya upaya pencurian aset berharga di situs InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System). Pencabutan peralatan, termasuk sensor, digitizer, dan peralatan komunikasi, secara otomatis menghentikan operasional pemantauan gempa di wilayah tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius mengingat sejarah panjang bencana gempa dan tsunami yang melanda Nabire.
Nabire, yang terletak di jalur patahan aktif Sesar Wapoga, memang memiliki tingkat kerawanan gempa yang sangat tinggi. Laporan Pusat Gempa Nasional (Pusgen, 2017) mengklasifikasikan Sesar Wapoga bukan sebagai sesar mikro, melainkan sesar regional yang berpotensi memicu gempa bumi besar hingga magnitudo Mw7,9. Selain itu, posisi geografis Nabire yang berdekatan dengan zona sumber gempa Sesar Yapen, Sesar Naik Cendrawasih, dan Zona Megathrust Papua di laut, meningkatkan pula risiko tsunami. Sejarah mencatat beberapa peristiwa gempa bumi dahsyat yang pernah melanda Nabire, antara lain:
- Gempa Nabire berkekuatan Mw7,0 pada 5 Februari 2004 (37 korban jiwa)
- Gempa Nabire berkekuatan Mw6,7 pada 8 Februari 2004 (2 korban jiwa)
- Gempa Nabire berkekuatan Mw7,1 pada 26 November 2004 (32 korban jiwa)
Lebih jauh lagi, peristiwa tsunami Nabire pada 8 Oktober 1900 yang menewaskan 5 orang menjadi bukti nyata ancaman bencana ini. Dengan kondisi ini, perusakan sistem peringatan dini gempa dan tsunami sama artinya dengan mengabaikan keselamatan masyarakat Nabire.
Daryono menekankan bahwa perusakan fasilitas BMKG ini akan berdampak serius terhadap kecepatan dan akurasi informasi gempa dan peringatan dini tsunami. Informasi yang lambat dan kurang akurat dapat menyebabkan kerugian jiwa dan materi yang lebih besar. Oleh karena itu, BMKG mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan perusakan dan pencurian peralatan BMKG. Pemerintah daerah (Pemda) juga diharapkan berperan aktif dalam mengamankan peralatan-peralatan tersebut. Penggantian peralatan yang rusak atau hilang bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Peralatan BMKG di daerah merupakan aset vital untuk mitigasi bencana dan keselamatan masyarakat. BMKG berharap Pemda dan masyarakat dapat ikut menjaga keamanan peralatan tersebut demi keberlangsungan operasional pelayanan informasi dan peringatan dini bencana.
Kejadian ini menjadi pengingat penting betapa krusialnya peran sistem peringatan dini dalam mitigasi bencana dan betapa pentingnya menjaga kelangsungan operasionalnya. Kerjasama antara BMKG, Pemda, dan masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan keselamatan masyarakat Nabire dan wilayah-wilayah rawan bencana lainnya di Indonesia.