Perjuangan Hidup Martina: Bertahan di Rumah Tak Layak Huni dengan Mengandalkan Tenun di Sikka

Di pelosok Kampung Magesayang, Desa Hoder, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, terdapat sebuah keluarga yang berjuang keras untuk bertahan hidup. Martina Bala, seorang ibu berusia 53 tahun, harus membesarkan empat anaknya di sebuah rumah yang jauh dari kata layak.

Rumah berukuran 2,5 x 4 meter tersebut berdinding bambu yang sudah lapuk dimakan usia, beralaskan tanah, dan hanya memiliki satu kamar yang berfungsi ganda sebagai tempat tinggal dan penyimpanan barang. Pintu pun hanya ditutupi oleh lembaran seng bekas. Ironisnya, rumah ini belum memiliki aliran listrik sendiri, sehingga mereka terpaksa menumpang dari tetangga.

Cobaan hidup Martina dimulai ketika suaminya pergi meninggalkannya beserta anak-anaknya yang masih kecil. Sejak saat itu, Martina harus memikul tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Dari enam orang anaknya, dua di antaranya telah beranjak dewasa dan mencari nafkah di tempat lain. Gabril, anak sulungnya, bekerja serabutan sebagai penjaga toko dan pembuat batu merah. Sementara Heriyanto, anak keduanya, merantau ke Kalimantan untuk menjadi buruh sawit.

Empat anak lainnya, Avila, Elenterius, Oktavia, dan Marianus, masih tinggal bersama Martina. Keterbatasan ekonomi memaksa anak-anak ini untuk putus sekolah. Elenterius kini membantu tetangga mengiris pohon lontar, sementara Oktavia terpaksa berhenti sekolah saat duduk di kelas VIII SMP. Sebelumnya, Martina pernah bekerja sebagai pengasuh anak di panti asuhan milik seorang relawan kemanusiaan asal Belgia, Mama Belgi, dan di Panti Asuhan Stela Maris Nangahure. Setelah itu, ia dan anak-anaknya sempat berpindah-pindah tempat tinggal hingga akhirnya menetap di rumah sederhana yang dibangun di atas tanah yang dibeli oleh Heriyanto.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Martina dan anak-anaknya bekerja serabutan. Mereka membantu tetangga di kebun, menanam jagung dan ubi. Selain itu, Martina juga memiliki keterampilan menenun sarung. Sarung-sarung tenun tersebut dijual dengan harga antara Rp120.000 hingga Rp300.000 per lembar. Dalam sebulan, Martina mampu menghasilkan sekitar empat lembar sarung tenun. Hasil penjualan tenun digunakan untuk membeli benang, pewarna kain, dan kebutuhan pokok seperti beras.

"Kami sehari masak satu kali saja sampai malam. Kalau ada beras, kami bisa makan nasi, kalau tidak, makan jagung goreng dengan daun ubi. Yang penting kami bisa makan," ujar Martina dengan nada getir.

Martina sebenarnya telah terdata sebagai calon penerima bantuan rumah sejak Oktober 2023. Namun, hingga saat ini, ia belum menerima bantuan apapun dari pemerintah Desa Hoder. Ia berharap agar bantuan tersebut benar-benar diberikan kepada keluarga yang membutuhkan, bukan justru kepada warga yang lebih mampu.

Ketua RT setempat, Fransiskus Nong Efendi, mengaku telah melaporkan kondisi Martina kepada pihak desa, namun belum ada realisasi. Ia berharap agar Pemerintah Kabupaten Sikka memberikan perhatian kepada keluarga Martina. "Kami sebagai tetangga hanya bisa membantu sebisanya. Kasihan mereka tidur berdesakan dalam rumah yang nyaris roboh," ungkapnya.

Kisah Martina adalah potret perjuangan seorang ibu yang tak kenal lelah dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Di tengah keterbatasan dan kesulitan, ia tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Harapan akan bantuan dari pemerintah dan uluran tangan dari para dermawan menjadi satu-satunya asa bagi Martina dan keluarganya untuk dapat hidup lebih layak.