Revitalisasi BUMDes: Strategi untuk Mendorong Kemandirian Ekonomi Desa

Menilik Kembali Peran Strategis Badan Usaha Milik Desa

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bukanlah konsep baru dalam lanskap ekonomi Indonesia. Sejak dekade 1960-an, berbagai inisiatif serupa telah dicetuskan dengan tujuan mulia: memberdayakan masyarakat desa, khususnya mereka yang terpinggirkan, dari cengkeraman rentenir dan memberikan akses terhadap layanan keuangan yang terjangkau.

Berbagai program seperti Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Koperasi Unit Desa (KUD), Kredit Umum Pedesaan (KUPEDES), Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Candak Kulak (KCK), Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP), Unit Pengelola Kegiatan (UPK) dan Simpan Pinjam untuk Perempuan (SPP) dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan, telah diimplementasikan. Akan tetapi, efektivitas dan keberlanjutannya seringkali menjadi pertanyaan besar. Hadirnya BUMDes, yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan perubahannya dalam UU No 3 Tahun 2024, diharapkan menjadi solusi permanen dengan mengedepankan prinsip kekeluargaan dan gotong royong antara pemerintah desa dan masyarakat. Tujuannya jelas: meningkatkan kesejahteraan warga, menanggulangi kemiskinan, serta memajukan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Realitas dan Tantangan BUMDes

Secara kuantitatif, perkembangan BUMDes cukup menggembirakan. Data tahun 2023 menunjukkan lonjakan signifikan, dari hanya 1.022 unit pada tahun 2014 menjadi 58.065 unit. Namun, angka ini tidak serta merta mencerminkan keberhasilan. Data Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendesa PDTT) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap fakta yang kurang menggembirakan: Pendapatan Asli Desa (PAD) dari BUMDes pada tahun 2023 justru lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, bahkan sebelum adanya suntikan dana desa yang besar.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa kuantitas tidak menjamin kualitas. Banyak BUMDes yang hanya menjadi simbol tanpa memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) Universitas Gadjah Mada, Bambang Hudayana, mengamini hal ini, menyebut banyak BUMDes hanya sekadar papan nama. Data per Juni 2024 menunjukkan dari 65.941 unit BUMDes, hanya 75,8% yang aktif, sementara sisanya tidak beroperasi, mengakibatkan kerugian finansial bagi desa.

Kemendesa PDTT berupaya mengatasi hal ini dengan menggandeng Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menghasilkan Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk BUMDes. Namun, tantangan utama tetap berada pada kompetensi pengelola, kapasitas manajerial yang kurang, serta diversifikasi usaha yang minim. Selain itu, masalah klasik seperti biaya produksi yang tinggi, kontinuitas produksi yang tidak terjamin (khususnya di sektor produktif), dan kesulitan pemasaran juga menjadi penghambat.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah profesionalisme pengurus BUMDes. Praktik nepotisme dalam rekrutmen, seringkali karena keterbatasan SDM di desa, menyebabkan pengelolaan BUMDes menjadi tidak efektif dan transparan. Padahal, Undang-Undang No. 3 Tahun 2024 secara tegas mengamanatkan pengelolaan BUMDes secara profesional demi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Data Kemendesa PDTT juga menyoroti dominasi sektor usaha tertentu dalam BUMDes, seperti perdagangan dan jasa, serta jasa keuangan. Sektor ketahanan pangan, yang seharusnya menjadi fokus utama, justru tertinggal. Hal ini menunjukkan bahwa BUMDes belum sepenuhnya berperan sebagai katalisator ekonomi lokal berbasis potensi desa.

Langkah Strategis Menuju BUMDes yang Berdaya

Mewujudkan BUMDes yang maju dan berdampak nyata adalah harapan bersama. Manfaatnya akan sangat besar bagi penanggulangan kemiskinan, pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan orkestrasi yang tepat dan cepat, dimulai dari perbaikan regulasi dan transformasi kelembagaan BUMDes. Unit-unit yang belum berbadan hukum harus segera menyelesaikan proses legalitas agar tertib administrasi dan pengelolaan keuangan.

Peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan teknis, baik dalam manajemen BUMDes, produksi, maupun pemasaran, juga sangat krusial. Selain itu, perluasan pangsa pasar, tidak hanya bergantung pada pasar lokal desa, serta pemanfaatan teknologi di seluruh rantai nilai, dari hulu hingga hilir, untuk menciptakan efisiensi juga sangat penting.

Yang terpenting, pemerintah pusat, daerah, dan desa harus memiliki komitmen yang sama untuk memberikan pendampingan teknis dan memprioritaskan BUMDes dalam pengelolaan sumber daya alam desa secara berkelanjutan. Dengan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi, BUMDes dapat menjadi instrumen strategis dalam mengelola potensi desa, menggerakkan pembangunan ekonomi, dan menciptakan kemandirian yang berkelanjutan.

  • Regulasi dan Kelembagaan: Pembenahan regulasi dan percepatan legalitas BUMDes.
  • SDM: Peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan teknis yang relevan.
  • Pemasaran: Perluasan pangsa pasar dan pemanfaatan teknologi untuk efisiensi.
  • Komitmen: Komitmen dan pendampingan dari pemerintah di semua tingkatan.