Ketegangan India-Pakistan: Gelombang Islamofobia dan Risiko Perpecahan Agama Meningkat
Gelombang kecaman dan kekhawatiran melanda India menyusul serangan mematikan di Pahalgam. Menteri Luar Negeri India, Vikram Misri, dalam pernyataan resminya, menuding bahwa tujuan utama serangan tersebut adalah untuk memicu konflik komunal di Jammu dan Kashmir, serta di seluruh India. Tuduhan ini muncul setelah kelompok militan Islamis bertanggung jawab atas pembunuhan 26 warga sipil di Kashmir, di mana para korban diidentifikasi berdasarkan agama mereka sebelum dieksekusi.
Simbolisme persatuan lintas agama ditampilkan dalam konferensi pers Misri, dengan kehadiran Kolonel Sophia Qureshi yang Muslim dan Komandan Sayap Vyomika Singh yang Hindu. Misri menegaskan bahwa pemerintah dan rakyat India berhasil menggagalkan rencana jahat tersebut. Namun, di balik pernyataan tersebut, realitas yang berbeda muncul dengan meningkatnya ujaran kebencian dan ketegangan antaragama.
Ujaran Kebencian yang Meningkat
Pemerintah India menuding Pakistan mendukung terorisme lintas batas. Hal ini mengakibatkan meningkatnya sentimen anti-Muslim, yang seringkali dipicu oleh akun media sosial ultranasionalis yang menggambarkan Muslim India sebagai "penyusup" atau "pengkhianat".
Vishva Hindu Parishad (VHP), sebuah organisasi nasionalis Hindu, menyerukan agar pemerintah mengusir "warga negara Pakistan dan jaringan sleeper cells mereka". Pemimpin VHP, Surendra Jain, menyatakan bahwa teroris memiliki agama tertentu. Pernyataan ini semakin memperkeruh suasana dan memicu kebencian yang meluas.
Kebencian online juga merambah ke dunia nyata. Sebuah toko roti bernama "Karachi Bakery" di Hyderabad dirusak oleh pengunjuk rasa yang menuntut penggantian nama toko, karena Karachi adalah nama kota di Pakistan. Ironisnya, toko roti itu dimiliki oleh keluarga Hindu yang bermigrasi dari Karachi ke India pada tahun 1947. Dalam sepuluh hari setelah serangan di Pahalgam, India Hate Lab mencatat setidaknya 64 peristiwa ujaran kebencian anti-Muslim di sembilan negara bagian serta wilayah Jammu dan Kashmir.
Kekhawatiran Akan Serangan Balasan
Di Agra, seorang pemilik warung biryani menjadi korban penembakan sebagai bentuk "pembalasan" atas serangan di Pahalgam. Di Aligarh, seorang anak laki-laki Muslim berusia 15 tahun diserang dan dipaksa buang air kecil di atas bendera Pakistan. Video penyerangan itu beredar luas di media sosial.
Anuj, seorang Muslim India asal Mumbai, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap keselamatan orang tuanya yang tinggal di Gujarat. Ia menuturkan bahwa kelompok berhaluan kanan menggelar unjuk rasa dengan meneriakkan slogan-slogan anti-Muslim. Keluarganya mulai mempertimbangkan untuk meninggalkan India secara permanen.
Di Nainital, protes atas pemerkosaan terhadap anak berusia 12 tahun berubah menjadi bentrokan komunal. Tersangka pelaku pemerkosaan adalah seorang Muslim. Masyarakat mendesak agar tindakan segera diambil, namun kelompok berhaluan kanan Hindu memanfaatkan momentum tersebut. Beberapa toko milik warga Muslim dihancurkan, dan suasana seperti jam malam melanda kawasan pasar selama dua hari.
Meningkatnya Ketegangan Antaragama
Konflik India-Pakistan yang berkepanjangan memperuncing kebencian terhadap kelompok minoritas. Skala insiden yang terjadi setelah serangan di Pahalgam dinilai "belum pernah terjadi sebelumnya".
Ghazala Wahab, editor majalah keamanan nasional Force, menyatakan bahwa komunikasi antarkelompok masyarakat terputus. Setelah pembunuhan pada 22 April, India menutup perbatasannya dengan Pakistan dan membatalkan semua visa yang telah dikeluarkan untuk warga negara Pakistan. Aktivitas perjalanan dan perdagangan dihentikan.
Nirupama Subramanian, seorang jurnalis senior, menilai bahwa kelompok sayap kanan semakin berani karena merasa tidak ada konsekuensi atas tindakan mereka. Meski demikian, ia menilai bahwa respons terhadap serangan Pahalgam belum mengarah pada kerusuhan berskala besar.
Iklim Ketakutan dan Ketidakpercayaan
Tanika Sarkar, seorang profesor, menjelaskan bahwa konflik ini menciptakan luka sosial yang dalam dan reaksioner. Ia menambahkan bahwa rasa takut tersebut melahirkan atmosfer ketakutan yang lebih luas.
Dalam konflik terakhir ini, media justru memperkeruh keadaan. Sejumlah saluran berita menyiarkan laporan sensasional yang tidak terverifikasi, dan pesan-pesan yang beredar luas di platform WhatsApp, menciptakan atmosfer ketakutan di masyarakat.
Sarkar menambahkan bahwa dalam kondisi seperti ini, seseorang bisa dengan mudah mulai mencurigai setiap Muslim.