Kontroversi Nikah Mut'ah: Sejarah, Hukum, dan Pandangan Ulama
Kontroversi Nikah Mut'ah: Sejarah, Hukum, dan Pandangan Ulama
Nikah mut'ah, sering disebut juga sebagai pernikahan sementara atau kawin kontrak, merupakan praktik pernikahan yang hingga kini masih menimbulkan perdebatan sengit di kalangan umat Islam. Berbeda dengan pernikahan syariat yang bersifat permanen, nikah mut'ah memiliki batasan waktu yang disepakati kedua belah pihak, disertai dengan kesepakatan mahar. Pemahaman menyeluruh tentang sejarah dan hukum nikah mut'ah sangat penting untuk memahami kompleksitas isu ini.
Sejarah Nikah Mut'ah: Dari Tradisi Pra-Islam hingga Larangan Definitif
Praktik pernikahan sementara sebenarnya telah ada jauh sebelum ajaran Islam. Dalam beberapa kebudayaan pra-Islam, nikah mut'ah berfungsi sebagai mekanisme sosial, terutama untuk melindungi perempuan dalam konteks suku atau klan. Namun, penerapannya dalam konteks Islam mengalami perubahan yang signifikan seiring perkembangan sejarah.
Pada masa awal perkembangan Islam, di tengah gejolak peperangan dan kondisi sosial yang dinamis, Rasulullah SAW sempat memberikan kelonggaran terhadap nikah mut'ah. Hal ini didorong oleh situasi tertentu, seperti mencegah praktik perzinaan di kalangan para sahabat, khususnya mereka yang baru memeluk Islam dan masih terbiasa dengan praktik-praktik sosial pra-Islam. Namun, perlu ditekankan bahwa pemberian kelonggaran ini memiliki konteks historis dan bukan menjadi sebuah aturan yang permanen.
Catatan sejarah mencatat beberapa perubahan hukum terkait nikah mut'ah. Ada periode di mana nikah mut'ah diizinkan, lalu kemudian dihapuskan, dan kemudian diizinkan kembali dalam waktu terbatas. Perubahan ini menunjukan bahwa peraturan tersebut bersifat dinamis dan responsif terhadap konteks sosial saat itu. Namun, pada akhirnya Rasulullah SAW secara definitif mengharamkan nikah mut'ah. Hadits-hadits shahih dari Rasulullah SAW menjadi landasan utama bagi larangan tersebut. Diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah SAW bersabda: "Wahai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian untuk nikah mut'ah dengan para wanita. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal itu hingga Hari Kiamat. Maka barangsiapa yang di sisinya ada wanita-wanita (yang dinikahinya secara nikah mut'ah), hendaklah dia berpisah darinya, dan janganlah kamu mengambil apa yang telah kamu berikan kepada mereka." (HR Muslim).
Setelah masa Rasulullah SAW, Khalifah Umar bin Khattab secara tegas melarang praktik nikah mut'ah dan memberikan ancaman hukuman yang berat bagi pelakunya. Langkah tegas ini semakin memperkuat status hukum nikah mut'ah sebagai praktik yang terlarang dalam Islam.
Hukum Nikah Mut'ah dalam Perspektif Ulama
Secara mayoritas, ulama dari empat mazhab utama dalam Islam (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) sepakat mengharamkan nikah mut'ah. Pendapat ini juga didukung oleh jumhur (mayoritas) ulama dan para tabi'in (generasi setelah sahabat). Keharaman nikah mut'ah didasarkan pada hadits-hadits Rasulullah SAW yang shahih dan mutawatir (banyak meriwayatkan) serta pandangan bahwa nikah mut'ah tidak sesuai dengan tujuan pernikahan dalam Islam, yaitu untuk membangun keluarga yang kokoh dan menjaga keberlangsungan keturunan dalam kerangka yang sah dan terhormat.
Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan minoritas ulama, namun pendapat yang mengharamkan nikah mut'ah jauh lebih dominan dan menjadi pegangan mayoritas umat Islam. Perbedaan pendapat ini muncul karena interpretasi yang berbeda terhadap hadits dan konteks sejarahnya.
Kesimpulan
Nikah mut'ah merupakan praktik pernikahan yang memiliki sejarah panjang dan kompleks dalam Islam. Meskipun pernah diizinkan dalam konteks tertentu pada masa awal Islam, namun pada akhirnya diharamkan secara definitif oleh Rasulullah SAW. Pendapat mayoritas ulama dan hadits-hadits shahih menguatkan hukum keharaman nikah mut'ah. Memahami sejarah dan hukum nikah mut'ah penting untuk menjaga kesucian ajaran agama dan menciptakan pemahaman yang komprehensif dan akurat mengenai pernikahan dalam Islam.