Pengerahan TNI Jaga Kejaksaan: Ancaman Supremasi Sipil?

Polemik Pengerahan TNI untuk Pengamanan Kejaksaan

Keputusan Panglima TNI melalui Telegram No. TR/442/2024, yang memerintahkan penempatan personel TNI untuk memperkuat pengamanan di lingkungan Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia, menuai beragam reaksi. Langkah ini dianggap kontroversial karena dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan berpotensi mengganggu supremasi sipil.

Kebijakan ini muncul tanpa adanya indikasi ancaman keamanan yang signifikan terhadap lembaga kejaksaan. Pihak-pihak yang mengkritisi kebijakan ini mempertanyakan urgensi dan landasan hukum yang mendasari pengerahan pasukan TNI untuk tugas pengamanan sipil. Penjelasan bahwa tindakan ini merupakan bagian dari kerjasama rutin antara TNI dan Kejaksaan Agung berdasarkan nota kesepahaman justru menimbulkan kekhawatiran baru mengenai potensi keterlibatan militer dalam urusan sipil tanpa justifikasi hukum dan politik yang memadai.

Landasan Hukum yang Dipertanyakan

Dalam negara hukum, pengerahan militer untuk tugas selain perang (Operasi Militer Selain Perang/OMSP) harus didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang jelas. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI secara tegas mengatur bahwa OMSP hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan politik negara yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, sesuai dengan jenis dan cakupan tugas yang diemban. Telegram Panglima TNI, sebagai sebuah instruksi internal, tidak memenuhi persyaratan formal tersebut dan tidak dapat dijadikan dasar hukum yang sah untuk pengerahan kekuatan militer.

Bahkan nota kesepahaman antara TNI dan Kejaksaan Agung, yang diklaim sebagai dasar kerjasama, tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup untuk membenarkan penempatan personel militer bersenjata secara nasional. Penggunaan instrumen administratif untuk melampaui batasan hukum dan kewenangan yang dimiliki merupakan indikasi pelanggaran terhadap prinsip pemisahan kekuasaan sipil dan militer.

Ancaman terhadap Supremasi Sipil dan Netralitas Militer

Salah satu fondasi utama negara demokrasi adalah supremasi sipil atas militer. Reformasi 1998 mengamanatkan pemisahan peran TNI dan Polri agar militer tidak lagi menjadi instrumen politik atau alat pengamanan kekuasaan sipil. Pengerahan TNI untuk mengamankan kejaksaan mengingatkan pada masa lalu ketika militer terlibat secara mendalam dalam urusan sipil, yang berpotensi menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan, mengurangi akuntabilitas lembaga negara, dan meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang. Kebijakan ini seolah mengulangi pola lama, di mana militer dilibatkan ketika otoritas sipil kurang percaya pada kemampuannya sendiri.

Situasi ini dapat dikategorikan sebagai "militerisasi administratif" yang secara bertahap mengikis netralitas TNI. Keterlibatan militer dalam urusan sipil tanpa batasan yang jelas dapat merusak ruang netral dan otonom yang telah diperjuangkan melalui reformasi. Netralitas militer menjadi taruhan utama. Meskipun Panglima TNI dan Kejaksaan Agung mengklaim bahwa kerjasama ini bersifat preventif, masyarakat memiliki alasan untuk khawatir akan implikasi jangka panjangnya.

Pemborosan Sumber Daya Strategis

TNI memiliki peran utama dalam menjaga kedaulatan negara dan menghadapi ancaman militer. Dengan kekuatan sekitar 400.000 personel aktif, TNI seharusnya fokus pada modernisasi pertahanan, peningkatan kesiapsiagaan tempur, dan menghadapi ancaman non-konvensional seperti perang siber dan pertahanan maritim. Namun, kenyataannya, personel TNI seringkali dilibatkan dalam urusan sipil, seperti penanggulangan bencana alam, pengamanan tamu negara, dan penjagaan objek vital sipil. Hal ini dapat dianggap sebagai pemborosan sumber daya strategis.

Polri, dengan kekuatan lebih dari 600.000 personel aktif, memiliki mandat, pelatihan, dan kewenangan untuk menjaga keamanan objek vital sipil. Keterlibatan militer dalam tugas pengamanan sipil dapat mencerminkan ketidakpercayaan pemerintah terhadap aparat penegak hukumnya sendiri dan menunjukkan inefisiensi dalam pengelolaan tugas negara. TNI bukanlah satuan pengamanan swasta. Penugasan pasukan bersenjata negara untuk mengawal gedung pemerintahan sipil dalam situasi normal merupakan penyalahgunaan kekuatan negara untuk tugas yang bukan menjadi ranahnya.

Implikasi dan Rekomendasi

Untuk menjaga supremasi sipil, netralitas militer, dan efisiensi pengelolaan sumber daya negara, pengerahan TNI untuk pengamanan kejaksaan perlu dievaluasi secara mendalam. Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk menarik kembali personel militer ke ranah pertahanan. Kejaksaan Agung, jika membutuhkan pengamanan tambahan, dapat meminta dukungan dari Polri. Nota kesepahaman antara TNI dan Kejaksaan Agung perlu ditinjau ulang agar tidak disalahgunakan sebagai dasar operasi yang menyimpang dari fungsi utama kedua institusi. Profesionalisme militer tidak akan terwujud jika personelnya lebih banyak bertugas mengawal gedung daripada menjaga perbatasan negara. Demokrasi tidak dapat tumbuh subur di bawah bayang-bayang kekuatan militer.