Jakarta Kehilangan Angkutan Pengumpan: Jumlah Armada Pengganti Metro Mini dan Kopaja Belum Mencukupi
Jakarta menghadapi tantangan serius dalam sistem transportasi umum, ditandai dengan kemacetan parah yang mengakibatkan kerugian ekonomi dan dampak negatif pada kesehatan. Kerugian ekonomi akibat kemacetan mencapai angka fantastis, yakni Rp 100 triliun per tahun. Angka ini mencakup biaya operasional kendaraan yang membengkak, waktu tempuh yang terbuang sia-sia, serta potensi pencemaran udara yang mengkhawatirkan.
Selain kerugian materiil, kemacetan juga memicu masalah kesehatan, baik fisik maupun mental. Stres akibat terjebak dalam lalu lintas padat dan peningkatan risiko penyakit pernapasan akibat polusi udara menjadi ancaman nyata bagi warga Jakarta. Data dari Tomtom Indeks bahkan mencatat Jakarta sebagai kota termacet ketiga di dunia pada tahun 2017.
Penurunan Pengguna Bus Umum
Data dari JUTPI (2019) menunjukkan penurunan drastis dalam penggunaan bus umum dari tahun 2002 hingga 2018. Pada tahun 2002, pengguna bus umum mencapai 55%, namun angka ini terus menurun menjadi 24,4% pada tahun 2010 dan hanya 2,9% pada tahun 2018. Sebaliknya, pengguna sepeda motor mengalami peningkatan signifikan, dari 22% pada tahun 2002 menjadi 75,8% pada tahun 2018. Hal ini mengindikasikan peralihan pengguna angkutan umum ke kendaraan roda dua.
Walaupun data JUTPI belum mencatat persentase pengguna Trans Jakarta secara signifikan, data dari Pemprov Jakarta pada tahun 2023 menunjukkan adanya 21 juta perjalanan dengan rata-rata 1 juta pengguna Trans Jakarta per hari. Namun, persentase ini masih sekitar 4,7%, jauh di bawah angka tahun 2002 yang mencapai 55%.
Tantangan Mencapai Target Pengguna Angkutan Umum
Dengan kondisi penurunan pengguna bus umum dan peningkatan pengguna sepeda motor, Jakarta menghadapi tantangan besar dalam mencapai target penggunaan angkutan umum massal. Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menargetkan 60% pengguna angkutan umum massal pada tahun 2029. Jika mengacu pada data Pemprov DKI Jakarta tahun 2023, target ini membutuhkan ketersediaan kursi angkutan umum massal sekitar 12,6 juta.
Namun, dengan ketersediaan kursi harian pada angkutan umum massal saat ini yang hanya sekitar 3.255.000 (Bus Trans Jakarta 1,5 juta, KRL 1,2 juta, MRT 260 ribu, LRT Jakarta 145 ribu, dan LRT Jabodebek 150 ribu), masih terdapat kekurangan sekitar 9.345.000 kursi angkutan umum.
Bahkan jika target diturunkan menjadi 30% pada tahun 2029, kebutuhan kursi angkutan umum masih mencapai 6.300.000, yang berarti masih ada kekurangan sekitar 3.045.000 kursi.
Hilangnya Peran Metro Mini dan Kopaja
Minimnya keterisian bus Trans Jakarta, yang hanya 4,7%, menjadi perhatian utama. Kondisi ini berbeda jauh dengan tahun 2002, di mana mode share pengguna bus mencapai 55%. Salah satu penyebabnya adalah hilangnya sistem feeder (moda pengumpan) seperti Metro Mini, Kopaja, dan Koantas Bima.
Metro Mini dan Kopaja, yang dulunya merupakan bagian penting dari sistem transportasi umum Jakarta, kini telah menjadi sejarah. Pada pertengahan tahun 2012, terdapat sekitar 3.000 bus Metro Mini dan 1.479 minibus Kopaja yang beroperasi di Jakarta. Namun, tuntutan peningkatan pelayanan dan usia armada yang sudah tua menyebabkan kedua angkutan ini tidak lagi beroperasi.
Dampak Hilangnya Angkutan Pengumpan
Hilangnya Metro Mini dan Kopaja berdampak pada integrasi antarmoda transportasi. Dulu, bus-bus ini menjadi feeder bagi pengguna KRL di stasiun-stasiun seperti Kebayoran, Palmerah, Tanjung Barat, Sudirman, Tebet, dan Manggarai. Namun, kini keberadaan mereka telah digantikan oleh bus-bus besar non-BRT yang jumlahnya terbatas.
Meskipun mini bus Trans Jakarta pernah beroperasi di pinggiran Jakarta, jumlahnya saat ini sangat kurang, jauh berbeda dengan jumlah Metro Mini dan Kopaja pada tahun 2012. Akibatnya, pelayanan feeder menjadi kurang efektif, karena jumlah bus tidak seimbang dengan kebutuhan pengguna angkutan umum.
Sebagai contoh, trayek Metro Mini S-74 Blok M - Rempoa kini digantikan oleh Mini Trans nomor 1Q. Namun, pada jam sibuk di Stasiun Kebayoran, jumlah armada Mini Trans sangat sedikit, dan jarak waktu tunggu antar bus (headway) sangat lama.
Rekomendasi Kebijakan
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kebijakan yang lebih efektif dalam menyediakan angkutan feeder. Pengoperasian non-BRT dengan bus-bus besar dinilai kurang efektif. Sebagai gantinya, penggunaan bus sedang sebagai non-BRT akan lebih baik, karena harga yang lebih murah memungkinkan pengadaan armada yang lebih banyak dan headway yang lebih cepat.
Diharapkan jumlah Mini Trans dapat ditingkatkan hingga setara dengan jumlah Metro Mini dan Kopaja sebelumnya, dengan headway yang cepat antara 3-5 menit pada jam sibuk. Jika pendanaan menjadi kendala, Pemprov DKI Jakarta dapat mengurangi besaran subsidi di koridor angkutan umum yang paling banyak subsidinya dan mengalihkan dana tersebut untuk pengadaan bus-bus sedang.
Wacana penutupan salah satu moda di koridor I (Thamrin-Sudirman) dinilai tepat, mengingat di sana terdapat tiga moda yang disubsidi: BRT (Trans Jakarta), non-BRT (MetroTrans), dan MRT Jakarta. Koridor I dianggap boros karena konsentrasi subsidi transportasi yang tinggi di wilayah tersebut.
Kebijakan ini diharapkan dapat lebih adil dalam pembagian subsidi angkutan massal untuk warga pinggiran Jakarta. Masyarakat, khususnya ibu-ibu yang berbelanja ke pasar dan anak-anak sekolah di wilayah Cinere, Rempoa, Ciputat, Bintaro, Tanjung Priok, Cidodol, Cipulir, Cakung, Klender, Puri Kembangan, Kemandoran, Grogol, Ciledug, Cililitan, Pondok Ranji, dan Kampung Melayu, sangat membutuhkan ketersediaan armada bus Mini Trans yang memadai.