Krisis Uang Tunai di Goma Mendorong Sistem Barter: Minyak Goreng Jadi Alat Pembayaran Sekolah
Krisis kemanusiaan yang berkepanjangan di Kota Goma, Republik Demokratik Kongo, telah memicu inovasi tak terduga dalam sistem pembayaran. Akibat konflik bersenjata yang terus berlanjut, pasokan uang tunai terhenti, memaksa warga untuk kembali ke sistem barter tradisional, bahkan untuk kebutuhan mendasar seperti pendidikan.
Setelah kelompok pemberontak M23 menguasai kota, pemerintah Kongo menghentikan pengiriman uang tunai ke bank-bank di wilayah tersebut. Langkah ini melumpuhkan aktivitas perbankan secara total, dengan mesin ATM yang kehabisan uang dan transaksi keuangan formal yang terhenti. Dalam kondisi sulit ini, masyarakat Goma harus beradaptasi dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Sebagai respons terhadap kelangkaan uang tunai, warga Goma mulai menggunakan barang kebutuhan pokok sebagai alat pembayaran. Praktik ini terutama terlihat dalam pembayaran biaya sekolah. Orang tua kini membayar biaya pendidikan anak-anak mereka dengan barang-barang seperti makanan dan minyak goreng.
"Prioritas utama saat ini adalah mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Kami hanya berjuang untuk bertahan hidup, dan situasi ini tidak bisa terus berlanjut," ujar Richard Mbueki, seorang guru di sekolah Majengo. Ia menunjukkan jeriken minyak goreng yang diberikan oleh salah satu orang tua murid sebagai pembayaran biaya sekolah.
Menurut Augustin Vangisivavi, seorang staf administrasi sekolah, orang tua murid membawa barang-barang, yang kemudian dinilai oleh pihak sekolah sesuai dengan harga pasar. Nilai barang tersebut dicatat dalam pembukuan sebelum tanda terima dikeluarkan. Sistem barter ini memungkinkan sekolah untuk tetap beroperasi dan anak-anak untuk terus mendapatkan pendidikan di tengah krisis.
Pemerintah setempat dan otoritas baru di Goma telah menyarankan masyarakat untuk beralih ke uang digital sebagai solusi alternatif. Namun, infrastruktur dan adopsi teknologi digital di wilayah tersebut masih belum memadai. Layanan pembayaran digital belum menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Goma, tidak seperti di negara-negara Afrika Timur lainnya.
Kelangkaan uang tunai ini sangat berdampak pada aktivitas dan transaksi harian di Goma. Bahkan, sebagian warga yang masih menerima gaji, terutama mereka yang bekerja di lembaga internasional atau pemerintah, terpaksa menyeberang ke Rwanda untuk menarik uang tunai. Tindakan ini menimbulkan biaya tambahan dan menambah beban ekonomi bagi mereka.
Situasi di Goma menyoroti dampak buruk dari konflik bersenjata terhadap kehidupan masyarakat sipil. Krisis uang tunai dan kembalinya sistem barter adalah bukti nyata dari kesulitan yang dihadapi warga dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Diperlukan solusi jangka panjang untuk mengatasi konflik dan membangun kembali sistem ekonomi yang stabil di wilayah tersebut.