BI Turunkan Suku Bunga Acuan: Analisis Dampak dan Strategi Kebijakan

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDGBI) pada bulan Mei menghasilkan keputusan penting, yaitu penurunan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin, dari 5,75 persen menjadi 5,5 persen. Langkah ini diambil dengan mempertimbangkan beberapa faktor kunci yang memengaruhi stabilitas ekonomi dan prospek pertumbuhan.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa keputusan tersebut didasari oleh tiga pertimbangan utama. Pertama, inflasi yang terkendali dan berada dalam kisaran target 2,5 persen (plus minus 1 persen). Kedua, nilai tukar rupiah yang relatif stabil terhadap dolar AS, berkat meredanya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China serta intervensi BI di pasar valuta asing, termasuk pasar non-delivery forward (NDF) di luar negeri. Ketiga, arus modal asing yang terus meningkat, yang memperkuat cadangan devisa Indonesia.

Arus modal asing yang masuk ke Indonesia hingga Mei 2025 mencapai sekitar Rp 20,63 triliun, dengan dominasi arus modal asing (capital inflow) ke Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 10 triliun. Penurunan BI Rate ini diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap berbagai sektor ekonomi.

Potensi Dampak Penurunan BI Rate

Beberapa perkiraan dampak dari penurunan BI Rate menjadi 5,5 persen meliputi:

  • Penurunan Suku Bunga PUAB: Suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) diperkirakan akan merespons cepat terhadap penurunan suku bunga acuan BI. Hal ini disebabkan oleh sifat PUAB sebagai pasar dana jangka pendek antar bank.
  • Penurunan Suku Bunga Deposito: Suku bunga deposito juga diperkirakan akan mengalami penurunan, dengan rentang waktu sekitar satu bulan setelah penurunan BI Rate.
  • Penurunan Suku Bunga Kredit: Penurunan suku bunga kredit diperkirakan akan terjadi lebih lambat, sekitar tiga bulan setelah penurunan BI Rate. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang memengaruhi suku bunga kredit, seperti bunga simpanan, marjin keuntungan, ekspektasi inflasi, dan risiko kredit.

Faktor risiko kredit menjadi pertimbangan utama dalam penentuan suku bunga kredit. Tingkat risiko kredit di Indonesia saat ini masih relatif tinggi akibat pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan dan pelemahan daya beli masyarakat. Namun, diperkirakan suku bunga kredit akan mulai turun pada kuartal kedua tahun 2025, yang akan diikuti oleh pertumbuhan penyaluran kredit.

Sektor kredit yang diperkirakan akan tumbuh adalah Kredit Pemilikan Rumah (KPR), kredit multiguna, dan kredit modal kerja. Peningkatan penyaluran kredit ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua tahun 2025, setelah pada kuartal pertama hanya mencapai 4,87 persen.

Selain penurunan BI Rate, BI juga melonggarkan kewajiban bank untuk menyediakan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dari 5 persen menjadi 4 persen untuk Bank Umum Konvensional (BUK) dan dari 3,5 persen menjadi 2,5 persen untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah (BUS/UUS). Pelonggaran PLM akan meningkatkan jumlah dana yang dapat dipinjamkan oleh perbankan (loanable fund). Likuiditas perbankan juga ditingkatkan dengan penambahan Rasio Pendanaan Luar Negeri (RPLN) dari 30 persen menjadi 35 persen.

Peran Kebijakan Fiskal

Namun, dampak penurunan BI Rate terhadap sektor riil dan pertumbuhan ekonomi memerlukan dukungan dari pemerintah melalui kebijakan fiskal (APBN). Kabar baiknya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa APBN per April 2025 mengalami surplus sebesar Rp 4,3 triliun atau 0,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), setelah mengalami defisit sebesar Rp 104,2 triliun atau 0,43 persen dari PDB pada Maret 2025. Surplus ini dapat digunakan oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran yang selektif, terarah, dan produktif.

Dengan kombinasi kebijakan moneter yang akomodatif dan kebijakan fiskal yang ekspansif, diharapkan perekonomian Indonesia dapat tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.