Komisaris Utama Sritex Ditahan: Badai Krisis dan Nasib Investor di Ujung Tanduk

Krisis Sritex Memanas: Penahanan Komisaris Utama dan Dampaknya bagi Investor

Gelombang permasalahan yang menerjang PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), atau yang lebih dikenal dengan Sritex, mencapai titik krusial dengan penahanan Komisaris Utama, Iwan Setiawan Lukminto. Tindakan tegas dari Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Selasa malam (20/5/2025) ini, menyeret Iwan dalam pusaran dugaan keterlibatan kasus pemberian kredit dari sejumlah bank yang mencapai nilai fantastis, sekitar Rp 3,6 triliun. Selain Iwan, Kejagung juga tengah memproses empat bank yang berperan sebagai pemberi pinjaman, terdiri dari tiga bank daerah dan satu bank BUMN.

Status Iwan Setiawan Lukminto saat ini masih sebagai saksi, namun penahanannya menjadi simbol akumulasi dari berbagai masalah yang telah lama menghantui perusahaan tekstil raksasa ini. Sritex, yang dahulu menjadi kebanggaan industri tekstil nasional, kini berada di ambang kehancuran. Kebangkrutan telah memaksa perusahaan untuk merumahkan lebih dari 10.000 karyawannya sejak awal Maret 2025. Penghentian operasional ini merupakan konsekuensi dari putusan pailit yang dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang, yang mengabulkan permohonan pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diajukan oleh salah satu krediturnya, PT Indo Bharat Rayon.

Upaya hukum untuk membatalkan putusan pailit telah ditempuh melalui berbagai cara, mulai dari pengajuan banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK). Namun, semua upaya tersebut menemui jalan buntu. Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Sritex pada 18 Desember 2024, dan kemudian menolak pula PK yang diajukan. Dengan demikian, status pailit Sritex berkekuatan hukum tetap.

Kondisi keuangan Sritex memang memprihatinkan. Laporan keuangan perusahaan di Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan total kewajiban (liabilitas) sebesar 1,61 miliar dollar AS pada kuartal III-2024, jauh melebihi nilai asetnya yang hanya sebesar 94,01 juta dollar AS. Liabilitas Sritex juga mengalami peningkatan sebesar 0,63 persen dibandingkan dengan akhir tahun 2023, yang tercatat sebesar 1,60 miliar dollar AS.

Dari sisi kinerja operasional, penjualan neto Sritex pada kuartal III-2024 merosot tajam sebesar 19,15 persen year on year (yoy) menjadi 200,93 juta dollar AS. Perusahaan juga menderita rugi bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar 66,05 juta dollar AS pada kuartal III-2024, atau turun 42,66 persen yoy.

Saham Sritex (SRIL) telah disuspensi oleh BEI sejak 18 Mei 2021, setelah perusahaan menunda kewajiban pembayaran bunga surat utang. Saat ini, saham SRIL terpuruk di level Rp 146 per saham, dengan kapitalisasi pasar (market cap) senilai Rp 2,98 triliun.

Analisis dan Perspektif

Pengamat Pasar Modal, Teguh Hidayat, Direktur Avere Investama, berpendapat bahwa kasus-kasus yang ditangani oleh Kejagung seringkali memiliki motif politik. Ia menduga bahwa hal ini juga mungkin berlaku dalam kasus penahanan Iwan S. Lukminto, mengingat Keluarga Lukminto dikenal sebagai salah satu pengusaha yang terlibat dalam politik, meskipun secara tidak terang-terangan.

Bagi investor, masalah yang menimpa Sritex tentu menjadi pukulan berat. Banyak investor ritel yang sahamnya "nyangkut" di Sritex, terutama setelah saham perusahaan tersebut disuspensi. Teguh Hidayat menambahkan bahwa BEI tampaknya enggan untuk melakukan delisting terhadap Sritex karena khawatir akan menimbulkan preseden buruk bagi pasar modal Indonesia. Ia menyoroti bahwa Sritex merupakan perusahaan besar di Solo Raya, sehingga delisting akan menjadi berita buruk.

Selain itu, Sritex juga memiliki utang kepada berbagai bank di Indonesia maupun bank asing. Masalah pailit yang dihadapi Sritex berpotensi menimbulkan dampak sistemik terhadap ekosistem lembaga keuangan di Indonesia.

Teguh memperkirakan bahwa nasib Sritex masih akan menggantung dalam beberapa waktu mendatang. Ia berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan Sritex adalah dengan mendatangkan investor baru yang bersedia mengelola perusahaan tersebut, termasuk menyingkirkan pemilik lama yang tersandung kasus.

Perlindungan Investor

Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menekankan pentingnya BEI sebagai regulator pasar saham untuk memperkuat kebijakan dalam melindungi investor dari emiten-emiten bermasalah yang tidak menerapkan prinsip tata kelola usaha yang baik dan benar. Ia juga menyarankan agar BEI bersama stakeholder lainnya meningkatkan peran dalam memberikan literasi pasar modal kepada investor, agar mereka tidak terjebak dalam saham-saham bermasalah karena fear of missing out (FOMO).

Nafan menyarankan agar investor yang memiliki dana dingin berlebih dan sudah terlanjur "nyangkut" di saham gorengan atau saham bermasalah, segera melakukan diversifikasi portofolio dengan masuk ke saham-saham berfundamental baik dan memiliki potensi pertumbuhan positif jangka panjang. Dengan demikian, investor dapat meminimalkan kerugian sekaligus meraih keuntungan dari upaya diversifikasi tersebut.

  • Disclaimer: Artikel ini hanya menyajikan informasi dan analisis, bukan merupakan rekomendasi investasi. Keputusan investasi sepenuhnya berada di tangan pembaca.