Serikat Pekerja Desak Evaluasi Ulang KRIS BPJS Kesehatan: Kebijakan Berpotensi Rugikan Pekerja

Penolakan Sistem KRIS BPJS Kesehatan Menguat, Buruh Ancam Turun ke Jalan

Kebijakan Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) yang akan menggantikan sistem kelas dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menuai penolakan keras dari kalangan buruh. Forum Jaminan Sosial (Jamsos) yang menaungi berbagai serikat pekerja secara lantang menyuarakan penolakan terhadap implementasi KRIS, yang dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan dan berpotensi menurunkan kualitas layanan bagi peserta BPJS Kesehatan.

Jusuf Rizal, Koordinator Forum Jamsos, menegaskan bahwa KRIS dapat membebani biaya BPJS Kesehatan secara signifikan, sehingga mengganggu alokasi anggaran yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan mutu pelayanan. Dalam audiensi dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Jusuf menyampaikan aspirasi agar Presiden terpilih, Prabowo Subianto, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan jaminan sosial, termasuk KRIS.

"Kami menolak gagasan KRIS ini karena bertentangan dengan prinsip keadilan. Kami meminta Presiden Prabowo untuk mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang menyangkut masalah jaminan sosial," ujar Jusuf.

Senada dengan Jusuf, Ketua Institute Hubungan Industrial Indonesia, Saepul Tavip, menyampaikan kekhawatiran bahwa penerapan KRIS akan merugikan buruh, khususnya mereka yang selama ini terdaftar di kelas 1 dan 2. Menurutnya, penyamaan kelas rawat inap justru akan menurunkan standar pelayanan yang mereka terima. Tauvip berpendapat bahwa alih-alih menyamaratakan kelas, pemerintah sebaiknya fokus meningkatkan kualitas layanan yang selama ini masih dirasa kurang optimal.

"Jika pemerintah berniat meningkatkan kualitas ruang rawat inap, seharusnya yang diperbaiki adalah kekurangan yang ada, bukan menurunkan kualitas yang sudah baik. Dampaknya akan sangat besar," tegas Tauvip.

Tauvip juga menyoroti potensi penurunan pendapatan iuran dari peserta mandiri jika KRIS diterapkan. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan pemberlakuan iuran tunggal yang nilainya setara dengan iuran kelas 3 atau 2 saat ini. Penurunan pendapatan ini, lanjutnya, dapat memperburuk defisit pembiayaan BPJS Kesehatan.

Bahkan, Tauvip mengancam akan mengerahkan massa buruh untuk turun ke jalan jika pemerintah tetap bersikeras menerapkan KRIS. Aksi demonstrasi akan menjadi opsi terakhir jika pemerintah mengabaikan aspirasi dan penolakan dari kalangan buruh.

Tanggapan DJSN

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Nunung Nuryartono, menyatakan bahwa pihaknya terbuka terhadap masukan dari berbagai pihak, termasuk buruh. Masukan-masukan tersebut akan menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan mutu layanan dan memperbaiki sistem perlindungan sosial di Indonesia.

"Kami menerima setiap masukan dari seluruh pemangku kepentingan dalam upaya untuk semakin meningkatkan mutu layanan perbaikan dan sistem perlindungan sosial di Indonesia, khususnya jaminan sosial," kata Nuryartono.

Sebagai informasi, implementasi KRIS BPJS Kesehatan ditargetkan paling lambat pada 30 Juni 2025. Rumah sakit diberi keleluasaan untuk menyelenggarakan sebagian atau seluruh pelayanan rawat inap sesuai dengan standar KRIS, dengan mempertimbangkan kemampuan masing-masing.

Poin Penting dalam Penolakan KRIS

Berikut adalah beberapa poin penting yang mendasari penolakan KRIS oleh kalangan buruh:

  • Bertentangan dengan prinsip keadilan.
  • Berpotensi menurunkan kualitas layanan bagi peserta kelas 1 dan 2.
  • Dapat membebani biaya BPJS Kesehatan.
  • Berpotensi menurunkan pendapatan iuran dari peserta mandiri.
  • Kurangnya transparansi dan sosialisasi kepada masyarakat.

Kalangan buruh berharap pemerintah mempertimbangkan secara matang dampak dari penerapan KRIS dan membuka ruang dialog yang konstruktif untuk mencari solusi terbaik bagi seluruh pihak. Kebijakan jaminan sosial yang adil dan berkualitas adalah hak seluruh warga negara, dan harus diupayakan bersama.