Guru Besar FK UB Bersuara: Tuntut Independensi Kolegium dan Kemitraan Setara dalam Pendidikan Kedokteran

Guru Besar FK UB Soroti Kebijakan yang Melemahkan Pendidikan Kedokteran

Lima belas guru besar dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Brawijaya (UB) menyampaikan pernyataan sikap yang tegas mengenai sejumlah kebijakan pemerintah yang dinilai berdampak negatif terhadap kualitas pendidikan kedokteran di Indonesia. Aksi ini berlangsung di Gedung Graha Medika FK UB, Selasa (20/5/2025), sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab moral para akademisi terhadap masa depan profesi kedokteran.

Dekan FK UB, Dr. dr. Wisnu Barlianto, MSi Med, Sp.A(K), menyatakan bahwa inisiatif para guru besar ini adalah kontribusi signifikan dalam mendorong kemajuan pendidikan kedokteran di Indonesia. Dukungan penuh juga datang dari Ketua Dewan Profesor UB, Prof. Sukir Maryanto, SSi, MSI, PhD, yang mewakili Dewan Profesor UB. Prof. Sukir menekankan pentingnya kemitraan yang adil antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdikbudristek), serta mendesak agar suara civitas akademika didengarkan dalam proses pengambilan kebijakan terkait pendidikan kedokteran.

Tuntutan Pemulihan Fungsi Kolegium Kedokteran

Puncak dari acara ini adalah pembacaan Pernyataan Sikap Guru Besar FK UB oleh Prof. Dr. dr. Handono Kalim, Sp.PD-KR. Dalam pernyataan tersebut, para guru besar mengungkapkan keprihatinan mendalam atas kebijakan-kebijakan yang dinilai berpotensi merusak mutu, profesionalisme, dan independensi lembaga pendidikan kedokteran di Indonesia. Berikut adalah poin-poin utama dari pernyataan sikap tersebut:

  • Pemulihan Fungsi Kolegium: Menuntut pemulihan fungsi kolegium kedokteran sebagai lembaga independen yang memiliki wewenang penuh dalam menetapkan standar kompetensi, menyusun kurikulum, dan melaksanakan sistem evaluasi berbasis keilmuan, tanpa adanya intervensi dari pihak eksternal.
  • Kemitraan Setara: Mendesak terjalinnya kemitraan yang setara dan sinergis antara Kemenkes, Kemdikbudristek, kolegium, rumah sakit pendidikan, dan institusi pendidikan kedokteran. Kemitraan ini bertujuan untuk menjamin kualitas layanan kesehatan yang optimal.
  • Otonomi Perguruan Tinggi: Menekankan pentingnya menjaga marwah dan otonomi perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan kedokteran sebagai fondasi keilmuan yang bermartabat dan berkualitas.
  • Tata Kelola yang Baik: Mendukung perbaikan tata kelola pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan yang berlandaskan prinsip integritas, transparansi, keadilan, serta keberpihakan terhadap masyarakat dan tenaga kesehatan.

Prof. Handono berharap agar pemerintah dan para pemangku kepentingan terkait dapat merespons aspirasi ini dengan bijaksana dan mengambil langkah-langkah konkret untuk perbaikan sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Ia menekankan bahwa pernyataan ini adalah wujud tanggung jawab moral dan profesional para guru besar terhadap masa depan pendidikan kedokteran.

Acara ini diakhiri dengan doa bersama, sebagai bentuk harapan agar dunia pendidikan, khususnya kedokteran, senantiasa diberikan kekuatan dalam menghadapi tantangan zaman dan mampu menghasilkan tenaga medis yang unggul dan berintegritas, demi kepentingan masyarakat Indonesia.

Reaksi Terhadap UU Kesehatan dan Independensi Kolegium

Pernyataan sikap dari guru besar FK UB ini muncul setelah sebelumnya perwakilan guru besar FK Universitas Indonesia (UI) juga menyampaikan tuntutan serupa terkait pendidikan dokter dan pelayanan kesehatan. Aksi yang disebut 'Salemba Berseru' tersebut merupakan puncak kekecewaan akademisi terhadap pemerintah terkait Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang dinilai mengganggu proses pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan.

Isu independensi kolegium menjadi salah satu sorotan utama. Kolegium, yang seharusnya menjadi lembaga independen yang terdiri dari para pakar dan guru besar untuk merumuskan kurikulum dan mengevaluasi pendidikan, dinilai telah kehilangan independensinya dan dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah.

Kemenkes sendiri mengklaim bahwa dengan disahkannya UU Kesehatan, posisi kolegium menjadi lebih independen dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui Konsil Kesehatan Indonesia (KKI). Kemenkes juga membantah tudingan bahwa pemilihan anggota kolegium tidak transparan, dan menegaskan bahwa pemilihan dilakukan secara langsung oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Terlepas dari klaim Kemenkes, kekhawatiran mengenai independensi kolegium dan dampaknya terhadap kualitas pendidikan kedokteran tetap menjadi perhatian utama para guru besar FK UB dan FK UI. Mereka berharap agar pemerintah dapat mendengarkan aspirasi para akademisi dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan kualitas pendidikan kedokteran yang bermutu dan berkeadilan di Indonesia.