Polemik Tarif: Aplikator Diduga Terapkan Kebijakan Diskriminatif Terhadap Pengemudi Ojek Online
Polemik Tarif: Aplikator Diduga Terapkan Kebijakan Diskriminatif Terhadap Pengemudi Ojek Online
Jakarta, Indonesia – Gelombang protes dari kalangan pengemudi ojek online (ojol) semakin menguat terkait dugaan praktik eksploitasi yang dilakukan oleh aplikator melalui kebijakan tarif yang dianggap merugikan. Koalisi Ojol Nasional (KON) secara terbuka menuding adanya pemaksaan layanan tarif rendah yang berujung pada eksploitasi terhadap para pengemudi.
Sekretaris Jenderal KON, Juwel Syafriko Hutasoit, menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait sistem tarif yang diterapkan. Menurutnya, para pengemudi ojol merasa tertekan untuk mengikuti layanan dengan potongan tarif yang mencapai 20 persen, padahal mereka beroperasi menggunakan modal pribadi. "Kami bekerja dengan modal sendiri, namun pemotongan tarif besar dipaksakan oleh operator kepada kami," ujarnya setelah melakukan audiensi dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) di Jakarta Selatan.
Menanggapi keluhan tersebut, Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kemenkumham, Munafrizal Manan, menyatakan komitmennya untuk menindaklanjuti laporan dugaan eksploitasi ini. Pihaknya berjanji akan melakukan investigasi mendalam terkait kondisi kerja para pengemudi ojol, termasuk menelusuri kemungkinan adanya unsur eksploitasi dalam sistem yang berlaku.
"Kami akan dalami bagaimana kondisi kerja teman-teman profesi ojol ini. Kemudian kami akan dalami apakah ada unsur eksploitasi di dalamnya," tegas Munafrizal.
Kemenkumham berencana untuk mengundang pihak aplikator guna meminta klarifikasi terkait tudingan eksploitasi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif dari kedua belah pihak, sehingga dapat ditarik kesimpulan yang adil dan berimbang.
"Karena yang kita dengar sekarang kan baru dari versi pihak ojol. Jadi, supaya kami mendapatkan informasi yang lengkap, kami juga nanti akan dalami dari versi pihak aplikator," jelas Munafrizal.
Sebelumnya, ribuan pengemudi ojol dari berbagai daerah menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran yang dikenal dengan nama "Aksi Akbar 205". Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap kebijakan tarif yang dianggap tidak adil dan merugikan para pengemudi.
Raden Igun Wicaksono, Ketua Umum Garda Indonesia, menjelaskan bahwa aksi unjuk rasa dipusatkan di berbagai instansi pemerintah dan kantor aplikator penyedia layanan transportasi online. Aksi ini melibatkan pengemudi ojol dari berbagai kota besar, termasuk Jabodetabek, Bandung, Cirebon, Karawang, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Palembang, dan Lampung.
Terdapat lima tuntutan utama yang disuarakan dalam aksi unjuk rasa tersebut, antara lain:
- Pemberian sanksi tegas terhadap aplikator yang melanggar regulasi Permenhub PM No.12/2019 dan Kepmenhub KP No.1001/2022.
- Penyelenggaraan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPR, Kemenhub, asosiasi pengemudi, dan aplikator.
- Penetapan batasan maksimal potongan sebesar 10 persen dari pendapatan mitra pengemudi.
- Penghapusan skema tarif hemat dan revisi sistem tarif penumpang.
- Penetapan tarif layanan makanan dan pengiriman barang secara transparan dan inklusif.
Tuntutan-tuntutan ini mencerminkan kekecewaan dan frustrasi para pengemudi ojol terhadap sistem yang mereka anggap tidak adil dan merugikan. Mereka berharap agar pemerintah dan aplikator dapat segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah ini dan menciptakan ekosistem yang lebih adil dan berkelanjutan bagi seluruh pihak yang terlibat.