Kejari Jakarta Pusat Amankan Aset Senilai Miliaran Rupiah Terkait Dugaan Korupsi Proyek PDNS Kominfo
Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat berhasil menyita sejumlah aset bernilai fantastis, mencapai Rp 1,8 miliar, yang diduga terkait dengan kasus korupsi proyek Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk periode 2020-2024. Penyitaan ini merupakan bagian dari upaya penegakan hukum terhadap dugaan penyimpangan dalam pengelolaan anggaran negara.
Kepala Kejari Jakarta Pusat, Safrianto Zuriat Putra, mengungkapkan bahwa aset yang disita meliputi uang tunai dalam jumlah besar yang berasal dari beberapa tersangka utama, yaitu Semuel Abrijanu Pangerapan (SAP), Bambang Dwi Anggono (BDA), dan Pini Panggar Agusti (PPA). Selain uang tunai, tim penyidik juga berhasil mengamankan berbagai aset berharga lainnya, seperti sertifikat tanah, bidang tanah, kendaraan bermotor, serta logam mulia berupa emas, dan berbagai dokumen penting yang dijadikan sebagai alat bukti dan barang bukti dalam proses penyidikan.
"Penyidik telah melakukan penyitaan terhadap sejumlah aset yang terdiri dari uang tunai, sertifikat dan bidang tanah, beberapa unit mobil, logam mulia dalam bentuk emas, serta berbagai dokumen yang memiliki nilai sebagai alat bukti dan barang bukti yang relevan dengan kasus ini," ujar Safrianto saat memberikan keterangan di Gedung Kejari Jakarta Pusat.
Lebih lanjut, Safrianto menjelaskan bahwa penyidik berhasil menyita tiga unit mobil dari SAP dan BDA, serta 176 gram logam mulia yang juga berasal dari kedua tersangka. Selain itu, tujuh sertifikat hak milik atas tanah juga berhasil diamankan oleh tim penyidik. Dalam penggeledahan yang dilakukan, tim penyidik juga mengumpulkan 55 barang bukti elektronik milik para tersangka dan saksi, serta 346 dokumen yang berkaitan erat dengan proyek PDNS.
"Seluruh barang bukti yang telah kami sampaikan tadi telah memperoleh persetujuan penyitaan dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," imbuhnya.
Proyek PDNS sendiri diketahui memiliki total anggaran yang cukup besar, mencapai Rp 959 miliar yang dialokasikan selama periode 2020 hingga 2024. Anggaran tersebut didistribusikan setiap tahun dengan rincian sebagai berikut:
- Tahun 2020: Rp 60,37 miliar
- Tahun 2021: Rp 102,67 miliar
- Tahun 2022: Rp 188,90 miliar
- Tahun 2023: Rp 350,96 miliar
- Tahun 2024: Rp 256,57 miliar
Dalam kasus ini, terdapat lima tersangka yang telah ditetapkan, yaitu Semuel Abrijanu Pangerapan (SAP) yang pernah menjabat sebagai Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo periode 2016–2024, Bambang Dwi Anggono (BDA) yang menjabat sebagai Direktur Layanan Aplikasi Informatika Pemerintah periode 2019–2023, Nova Zanda (NZ) yang merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tahun 2020, Alfie Asman (AA) yang menjabat sebagai Direktur Bisnis PT Aplikanusa Lintasarta periode 2014–2023, serta Pini Panggar Agusti (PPA), yang merupakan Account Manager PT Docotel Teknologi periode 2017–2021.
Safrianto menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari adanya dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran PDNS yang seharusnya mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Dalam aturan tersebut, data pemerintah seharusnya dikelola secara mandiri oleh pemerintah, bukan oleh pihak swasta.
"Namun, pada tahun 2019, Kominfo justru membentuk Pusat Data Nasional Sementara dan memasukkannya ke dalam nomenklatur DIPA 2020 sebagai Penyediaan Jasa Layanan Komputasi Awan IaaS, yang pelaksanaannya sangat bergantung pada pihak swasta," jelas Safrianto.
Menurut Safrianto, dalam proses penyusunan tender proyek PDNS, para tersangka diduga melakukan pemufakatan jahat. Kerangka Acuan Kerja (KAK) sengaja disusun sedemikian rupa untuk mengarah pada perusahaan tertentu. Perusahaan tersebut kemudian dipastikan menjadi pemenang lelang.
SAP, BDA, dan AA diduga aktif menyusun dokumen perencanaan proyek, seperti KAK dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), lalu menyerahkannya kepada NZ untuk diunggah sebagai dokumen resmi lelang. Padahal, HPS yang digunakan tidak sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa pemerintah. "Perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi oleh para tersangka," pungkas Safrianto. Kasus ini masih terus bergulir dan menjadi perhatian publik.