Penerapan KRIS dalam JKN: DJSN Tampung Aspirasi di Tengah Kontroversi

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) baru-baru ini menggelar audiensi yang melibatkan berbagai pihak terkait implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pertemuan yang berlangsung di Fraser Residence Menteng, Jakarta, pada hari Rabu (21/5/2025), bertujuan untuk menjembatani perbedaan pendapat dan mencari solusi atas polemik yang muncul akibat Peraturan Presiden (PP) Nomor 59 Tahun 2024. Perpres ini mengatur tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 mengenai Jaminan Kesehatan.

Penerapan KRIS, yang direncanakan paling lambat 30 Juni 2025, mengharuskan rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk menyediakan fasilitas rawat inap dengan standar tertentu. Namun, kebijakan ini menuai kritik karena dianggap kurang tepat dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Forum Jaminan Sosial Nasional (Jamsos), misalnya, menolak konsep KRIS satu ruang perawatan karena dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan. Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini dapat menurunkan manfaat yang selama ini dinikmati oleh peserta JKN kelas 1 dan 2. Selain itu, dikhawatirkan akan menambah beban biaya bagi BPJS Kesehatan dan mengurangi anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk peningkatan pelayanan.

Serikat Buruh juga menyampaikan keberatan terkait pasal 46 ayat 7 dalam Perpres Nomor 59 Tahun 2024, yang mengatur tentang fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap. Ketua DJSN, Nunung Nuryartono, menegaskan bahwa pihaknya akan menerima setiap masukan dari seluruh pemangku kepentingan untuk meningkatkan mutu layanan dan sistem perlindungan sosial di Indonesia.

Di sisi lain, BPJS Watch menilai bahwa penyusunan aturan KRIS kurang transparan dan tidak melibatkan peran masyarakat. Mereka juga mengkhawatirkan penyusutan jumlah tempat tidur bagi pasien JKN jika KRIS diterapkan. Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, berpendapat bahwa pemerintah seharusnya fokus meningkatkan kualitas layanan jaminan kesehatan, bukan malah mengambil langkah sepihak yang dapat menurunkan manfaat jaminan kesehatan, terutama bagi pekerja.

Senada dengan hal tersebut, Wakil Ketua Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan (FSP KEP) KSPI, Sahat Butar Butar, menganggap penerapan KRIS satu kelas sebagai bentuk paksaan pemerintah terhadap rakyat. Ia meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut, mengingat kondisi antrean panjang di rumah sakit yang sudah terjadi saat ini.

Pengamat perlindungan konsumen dan kebijakan publik, Tulus Abadi, mempertanyakan dasar hukum KRIS dan menilai bahwa kebijakan ini berpotensi ditunggangi oleh asuransi kesehatan swasta. Ia juga berpendapat bahwa penerapan KRIS dapat merugikan peserta JKN kelas 3 karena mereka akan dipaksa membayar iuran lebih besar. Selain itu, finansial pemerintah juga akan terbebani karena harus meningkatkan iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) kelas 3.

Tulus Abadi mengusulkan agar implementasi KRIS ditunda sampai ada titik temu mengenai konsep yang disepakati oleh seluruh pihak, terutama yang mengakomodasi kepentingan rumah sakit dan masyarakat sebagai peserta JKN. Penundaan ini dianggap sebagai opsi yang paling adil dan rasional di tengah polemik yang masih berlangsung.

Beberapa poin penting yang menjadi sorotan dalam perdebatan mengenai KRIS antara lain:

  • Keadilan: Apakah KRIS akan berdampak negatif pada peserta JKN kelas 1 dan 2?
  • Biaya: Apakah KRIS akan menambah beban biaya bagi BPJS Kesehatan dan pemerintah?
  • Transparansi: Apakah penyusunan aturan KRIS sudah melibatkan partisipasi masyarakat?
  • Kualitas Layanan: Apakah KRIS akan meningkatkan atau justru menurunkan kualitas layanan jaminan kesehatan?
  • Dampak pada Peserta: Bagaimana KRIS akan memengaruhi peserta JKN dari berbagai kelas?

Audiensi yang diselenggarakan oleh DJSN diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan mencari solusi terbaik bagi seluruh pihak yang terlibat dalam program JKN.