Eks Kapolres Ngada Terancam Hukuman Berlapis dalam Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Anak

Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT), Zet Tadung Allo, menyampaikan perkembangan terkini penanganan kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Suma’atmadja, dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI.

Rapat yang dipimpin oleh pimpinan Komisi III DPR RI tersebut turut dihadiri oleh perwakilan dari Polda NTT, Direktur Tindak Pidana Perdagangan Orang Bareskrim Polri, dan Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA). Fokus utama pembahasan adalah penanganan kasus yang melibatkan AKBP Fajar dan tersangka lain, Stefani Hedi Doko Rehi, yang saat ini sedang ditangani oleh Polda NTT.

Zet Tadung Allo menjelaskan bahwa Jaksa Agung Republik Indonesia memberikan perhatian khusus pada kasus ini, mengingat sorotan media nasional dan internasional yang besar. Instruksi telah diberikan agar penanganan perkara dilakukan secara profesional dan transparan, dengan tujuan menjaga martabat bangsa dan negara.

Kejaksaan Republik Indonesia, ditegaskan oleh Zet, berpegang pada Peraturan Kejaksaan RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pedoman Penanganan Tindak Pidana Persetubuhan dan Perbuatan Cabul terhadap Anak, serta Peraturan Kejaksaan RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak. Hal ini menunjukkan komitmen Kejaksaan dalam memberikan perlindungan hukum yang komprehensif bagi korban.

Dalam proses penuntutan, Kejaksaan mempertimbangkan berbagai aspek krusial, termasuk:

  • Identitas pelaku dan korban
  • Waktu dan tempat kejadian perkara (tempus dan locus delicti)
  • Alat bukti yang ada
  • Unsur-unsur pemberatan lainnya

AKBP Fajar dijerat dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 81 ayat (1) jo. Pasal 76E UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dikumulatifkan dengan Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2024. Pasal ITE ini dikenakan karena adanya unsur pornografi yang terkait dengan kasus tersebut. Sementara itu, Stefani dikenakan Pasal 81 ayat (2) UU Perlindungan Anak yang dikumulatifkan dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 10 dan Pasal 17 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Kajati NTT melaporkan bahwa terdapat tiga korban anak dalam kasus ini, dengan lokasi dan waktu kejadian yang berbeda antara Juni 2024 hingga Januari 2024. Identitas para korban dirahasiakan untuk melindungi hak-hak mereka, sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan anak yang berlaku.

Berkas perkara AKBP Fajar telah dinyatakan lengkap (P-21) dan sedang menunggu proses tahap dua, yaitu penyerahan tersangka dan barang bukti kepada Kejaksaan. Sementara itu, berkas perkara Stefani masih dalam tahap penyidikan oleh pihak kepolisian.

Menanggapi masukan dari Komisi III DPR RI mengenai kemungkinan penerapan pasal tambahan terkait pelanggaran HAM berat, Zet Tadung Allo menyatakan dukungan dan akan menindaklanjuti rekomendasi tersebut sesuai dengan rekomendasi Komnas HAM, jika memang ditemukan indikasi pelanggaran HAM berat dalam kasus ini.

Zet menutup pernyataannya dengan menegaskan komitmen Kejaksaan Tinggi NTT dalam menangani perkara kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, serta TPPO. Pada tahun sebelumnya, Kejati NTT telah menyelesaikan 413 perkara serupa dengan tingkat pembuktian mencapai 100 persen. Hal ini menjadi bukti keseriusan Kejaksaan dalam menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi korban.

“Ini adalah bentuk komitmen kami untuk selalu profesional, transparan, dan berpihak pada korban. Penegakan hukum yang adil dan berperspektif korban adalah prioritas kami,” pungkas Zet.