Tanggapan Warga Afrika Selatan atas Tuduhan Genosida Etnis Kulit Putih oleh Donald Trump

Kemarahan dan Kekecewaan di Afrika Selatan Menyusul Klaim Trump tentang Genosida

Klaim Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenai adanya genosida terhadap petani kulit putih di Afrika Selatan telah memicu reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat di negara tersebut. Tuduhan tersebut dilontarkan Trump dalam pertemuannya dengan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa di Washington D.C. yang bertujuan untuk memperbaiki hubungan bilateral kedua negara.

Warga Afrika Selatan dari berbagai latar belakang mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan mereka atas pernyataan Trump. Mereka menilai klaim tersebut tidak berdasar dan merusak citra negara mereka di mata internasional. Seorang mahasiswa bernama Nicole Mbhele menyatakan kekecewaannya kepada AFP. Ia merasa Trump telah memberikan kesan bahwa warga Afrika Selatan berniat membunuh warga kulit putih atau petani kulit putih untuk merebut kembali tanah mereka.

Tuduhan tersebut semakin diperparah dengan pemutaran video yang menampilkan pemimpin partai oposisi radikal yang menyanyikan lagu perjuangan anti-apartheid yang mengandung lirik tentang "membunuh" petani kulit putih. Trump juga mengulangi tuduhan bahwa pemerintah Afrika Selatan menyita tanah milik minoritas kulit putih keturunan Belanda, yang menguasai sebagian besar lahan pertanian komersial.

Seorang pegawai toko berusia 25 tahun, Naledi Morwalle, menanggapi pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa Trump tidak mengetahui fakta sebenarnya yang terjadi di Afrika Selatan dan menyebarkan tuduhan palsu tentang negaranya.

Reaksi terhadap Sikap Presiden Ramaphosa

Pertemuan antara Trump dan Ramaphosa disiarkan secara langsung di televisi dan disaksikan oleh banyak warga Afrika Selatan. Sebagian warga merasa bangga dengan delegasi negaranya, namun ada juga yang mengkritik sikap Presiden Ramaphosa yang dinilai kurang tegas dalam membantah klaim "genosida kulit putih" yang tidak berdasar. Sementara itu, sebagian lainnya mengapresiasi sikap tenang presiden yang menekankan bahwa korban utama dari tingginya angka kriminalitas di Afrika Selatan justru adalah warga kulit hitam.

Seorang pengamat dari Wits School of Governance, Thelela Ngcetane-Vika, meyakini bahwa Ramaphosa merasa terguncang ketika disambut di Oval Office dengan deretan salib putih yang diklaim Trump sebagai makam para petani kulit putih yang dibunuh. Menurutnya, Ramaphosa awalnya tampil tenang dan diplomatis, namun perubahan bahasa tubuhnya terlihat jelas setelah pemutaran video tersebut.

Seorang warga Afrikaans, Arthur Williams, berharap pertemuan tersebut dapat menghasilkan kesepakatan ekonomi yang saling menguntungkan bagi kedua negara.

Disinformasi dan Konteks yang Hilang

Video yang ditayangkan oleh Trump ternyata berasal dari laporan Reuters dari Republik Demokratik Kongo dan telah diverifikasi oleh tim pemeriksa fakta kantor berita tersebut. Video tersebut menampilkan para pekerja kemanusiaan yang sedang mengangkat kantong jenazah di kota Goma pasca bentrokan berdarah dengan kelompok pemberontak M23 yang didukung Rwanda.

Unggahan blog yang diperlihatkan Trump kepada Ramaphosa berasal dari American Thinker, sebuah majalah daring konservatif asal Amerika Serikat, yang membahas ketegangan rasial dan konflik di Afrika Selatan serta Kongo. Dalam unggahan blog tersebut, gambar tidak dilengkapi keterangan yang memadai dan hanya disebut sebagai "cuplikan layar dari YouTube" dengan tautan ke laporan berita video tentang Kongo.

Kesalahan tersebut menambah daftar panjang misinformasi yang kerap dikaitkan dengan narasi genosida terhadap warga kulit putih di Afrika Selatan. Klaim ini telah dibantah berulang kali oleh berbagai lembaga internasional dan organisasi hak asasi manusia.