Terdakwa Korupsi APD Covid-19 Membela Diri: Hanya Menjalankan Perintah Atasan
Pembelaan Terdakwa Kasus Korupsi APD: 'Saya Hanya Korban Keadaan'
Dalam sidang pembacaan pledoi yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan, Budi Sylvana, membantah keras tudingan menikmati hasil korupsi dalam proyek pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) COVID-19. Dengan suara lantang, ia menyatakan bahwa dirinya hanyalah pelaksana tugas, seorang pejabat pembuat komitmen (PPK) yang terpaksa menjalankan perintah atasan.
"Saya tidak pernah melampaui wewenang yang diberikan. Semua tindakan saya adalah atas nama pemberi mandat, dan saya hanya menjalankan tugas yang dibebankan," ujar Budi Sylvana di hadapan majelis hakim, Jumat (23/5/2025). Ia menekankan bahwa dirinya bukanlah inisiator dari proyek pengadaan APD tersebut. Saat pandemi COVID-19 melanda, ia mengaku menerima amanah sebagai PPK dengan satu-satunya niat mulia: melindungi para tenaga kesehatan dan masyarakat yang kala itu berada dalam ancaman serius.
Budi Sylvana menjelaskan bahwa dirinya merasa terbebani dengan tanggung jawab besar yang diberikan, apalagi bidang tersebut berada di luar kompetensi utamanya. "Saya bukan penggagas, bukan perancang, dan bukan pula pengambil keputusan awal dalam proses pengadaan APD ini," tegasnya.
Ia juga menyanggah bahwa penerimaan jabatan sebagai PPK didasari oleh ambisi pribadi atau keinginan mencari keuntungan. Baginya, ini adalah panggilan kemanusiaan di tengah situasi darurat. Lebih lanjut, Budi Sylvana mengungkapkan bahwa proses pengadaan APD telah disepakati secara kolektif sebelum dirinya ditunjuk sebagai PPK.
"Yang Mulia Majelis Hakim, saat saya ditunjuk, proses pengadaan sudah berjalan, penyedia sudah ditetapkan, barang sudah diambil, dan kontrak telah disusun oleh pihak lain," ungkapnya. "Bahkan, negosiasi harga dan mekanisme pembayaran pun telah disepakati secara kolektif sebelumnya. Saya hanya diminta menandatangani dokumen yang telah disetujui dan diperintahkan oleh kuasa pengguna anggaran," imbuhnya.
Di akhir pembelaannya, Budi Sylvana memohon kepada majelis hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman pidana kepadanya. Ia kembali menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menerima sepeser pun uang hasil korupsi terkait pengadaan APD ini.
"Perlu saya tegaskan, saya tidak pernah menerima apa pun, baik berupa uang, fasilitas, ataupun keuntungan pribadi. Bahkan, honor atau biaya tugas saya sebagai PPK pun tidak pernah saya terima," ujarnya dengan nada penuh harap.
Tuntutan Jaksa dan Peran Terdakwa Lain
Sebelumnya, dalam sidang tuntutan yang digelar pada Jumat (16/5), Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Budi Sylvana dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain Budi, JPU juga membacakan surat tuntutan untuk dua terdakwa lainnya, yaitu Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (PT EKI), Satrio Wibowo, dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PT PPM), Ahmad Taufik.
Berikut adalah rincian tuntutan yang diajukan JPU:
- Budi Sylvana: 4 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan
- Ahmad Taufik: 14 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara, serta uang pengganti Rp 224,18 miliar subsider 6 tahun penjara
- Satrio Wibowo: 14 tahun 10 bulan penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp 59,98 miliar subsider 4 tahun penjara
Dalam dakwaannya, JPU menyatakan bahwa Budi Sylvana dan terdakwa lainnya melakukan negosiasi pengadaan APD COVID-19 tanpa menggunakan surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran. Mereka juga didakwa menerima pinjaman uang dari BNPB kepada PT PPM dan PT EKI sebesar Rp 10 miliar untuk membayarkan 170 ribu set APD tanpa adanya surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran. Selain itu, mereka menerima pembayaran terhadap 1.010.000 set APD merek BOH0 sebesar Rp 711,28 miliar untuk PT PPM dan PT EKI.
JPU juga mengungkapkan bahwa PT EKI tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK). Lebih lanjut, PT EKI dan PT PPM tidak menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada PPK pada saat kesepakatan negosiasi APD. Akibat perbuatan tersebut, Satrio Wibowo disebut menerima Rp 59,9 miliar dan Ahmad Taufik menerima Rp 224,1 miliar. Kerugian keuangan negara dalam kasus ini ditaksir mencapai Rp 319 miliar.
"Terdakwa telah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 319.691.374.183 berdasarkan Laporan Hasil Audit BPKP," tegas JPU saat membacakan surat dakwaan.